Gunung Rinjani, Magnet Wisata yang Diperebutkan Banyak Tangan

Gunung Rinjani – si megah yang menjulang di Pulau Lombok, bukan sekadar gunung. Ia adalah simbol kebanggaan, sumber penghidupan, hingga ladang bisnis pariwisata yang menggiurkan. Namun di balik pesonanya, kini terselip aroma sengketa. Ribut-ribut pengelolaan pendakian Rinjani kembali memanas. Yang satu mengklaim legalitas, yang lain menuding kesewenang-wenangan. Lalu, siapa sebenarnya yang berhak?

Di satu sisi, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), sebagai lembaga resmi di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memegang kuasa hukum atas kawasan konservasi ini. Namun, di sisi lain, masyarakat lokal, termasuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan operator lokal, merasa terpinggirkan, bahkan seperti tamu di tanah sendiri.

Konflik Kepentingan: Antara Konservasi dan Komersialisasi

Bertahun-tahun lamanya, para pelaku wisata lokal menghidupkan sektor pendakian Rinjani. Mereka membangun jalur, menyediakan porter, dan mengenalkan kekayaan budaya sekitar pada pendaki domestik maupun mancanegara. Namun, setelah sistem booking online resmi BTNGR di berlakukan, suara-suara protes mulai menggema.

Operator lokal mengeluh: sistem ini terlalu birokratis, minim transparansi, bahkan dianggap membunuh kreativitas dan ekonomi masyarakat sekitar. Kuota yang terbatas, pembagian yang tidak adil, hingga dugaan adanya “pemain besar” yang lebih di untungkan, semakin menambah bara. Di sisi lain, BTNGR berkilah: semua demi konservasi. Demi menjaga ekosistem Rinjani yang selama ini di eksploitasi tanpa kendali.

Masyarakat Lokal: Penonton di Lumbung Sendiri

Yang paling getir adalah kenyataan bahwa masyarakat adat, yang hidup di kaki Rinjani sejak turun-temurun, kini justru menjadi pihak yang paling tak berdaya. Mereka yang dulu membuka jalur, membangun basecamp, dan merawat kawasan, kini hanya bisa menatap tanpa kuasa. Izin operasi semakin sulit, aturan semakin kaku, dan kontrol penuh ada di tangan pusat.

Alih-alih melibatkan mereka sebagai mitra utama, pengelolaan saat ini justru memperkuat kesan sentralisasi. Padahal, keberhasilan ekowisata tak bisa di capai tanpa kolaborasi sejati dengan masyarakat akar rumput.

Baca juga: https://sekaan.id/

Gunung Rinjani: Kawasan Konservasi atau Ladang Bisnis Berkedok Lingkungan?

Ironisnya, di tengah gembar-gembor konservasi, harga tiket masuk justru melonjak. Paket pendakian makin mahal, sementara fasilitas dasar seperti toilet, jalur evakuasi, hingga sistem tanggap darurat sering kali masih memprihatinkan. Jadi, uang itu sebenarnya mengalir ke mana?

Gunung Rinjani kini tak lagi sekadar gunung. Ia telah berubah menjadi arena tarik-menarik kepentingan, antara yang merasa paling berhak dan yang benar-benar menjaga. Jika suara masyarakat lokal terus di kesampingkan, maka ribut-ribut ini bukan hanya akan merusak reputasi wisata, tapi juga menodai semangat keadilan sosial dan lingkungan yang selama ini di jadikan tameng.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *